January 10, 2014

My Pity Dad

Photo ini dibuat ketika Hari Ayah 12 November 2013 lalu.
He's a person that always love me more than anything.
Semarah apa pun dia marah padaku, dia tetap sangat menyayangiku, begitupun aku.


***
Sebelum aku lahir, ibu bercerita bahwa ayahku baik-baik saja.
Sehat. Tidak seperti saat ini.

Hingga umurku 4 atau 5 tahun, seingatku ayahku masih baik-baik saja. Kami sekeluarga rekreasi ke Taman Ria setiap minggunya. Kami cukup bahagia. Ayah menggendongku di pundaknya--selalu. Kakak dituntun oleh ibu sambil membawa rantang makanan.
Kala itu aku dan kakakku cukup mengerti untuk tidak jajan dan cukup senang dengan memakan bekal makanan yang kami bawa dari rumah.

Hingga pada suatu hari, kegiatan rekreasi kami mulai jarang diagendakan. Ayahku jatuh sakit. Panasnya tak kunjung sembuh. Dia demam tinggi.
Saat aku tanya kenapa? Ibu hanya menjawab ayah sedang sakit. Aku tak tahu separah apa sakitnya.
Setelah beberapa lama, ayahku sembuh. Namun, sejak saat itu, seingatku, ayah jadi berubah.
Ia jadi pemarah, pemurung, pendendam, pembenci, suka bicara sendiri seakan ada yang mengajaknya berbicara.

Ia tak pernah keluar rumah. Memilih membantu ibuku di rumah menyiapkan perlengkapan dan membuat kue untuk berdagang. Dia bangun pagi-pagi sekali membantu ibu, menjaga aku ketika ibu berdagang, menjadi pengganti ibu ketika ibu tidak berada di rumah, tapi tetap tidak pernah keluar rumah. Pribadinya tertutup sekali.
Sekalinya keluar rumah, pasti ada saja ulah--kesalahpahaman-- yang dibuatnya. Entah bertengkar dengan saudara kandungnya sendiri atau bertengkar dengan orang lain.

Kadang penyebabnya sangat sepele. Misalnya saja, ketika dia tengah berjalan dan menghampiri seseorang, kebetulan orang tersebut meludah atau menggaruk hidung atau bahkan menggaruk pantatnya sendiri dan perilaku tersebut ayahku anggap sebagai penghinaan.

Ia marah bukan kepalang. Kadang marahnya diluapkan di rumah atau bila orang tersebut sedang sial, ayahku melabraknya dengan sumpah serapah yang tak habis-habisnya. Kampung seketika menjadi ramai dibuatnya.
Ayahku memang begitu, dan awalnya orang banyak terpacu untuk melawannya dengan kekerasan atau adu bacot dengannya, namun lama-kelamaan banyak yang maklum. Bagi yang --waras--tahu apa yang terjadi pada ayahku sebelumnya tentu dia maklum, dan bagi yang --sama-sama tidak waras--belum tahu,  habislah ayahku dimaki-maki habis-habisan atau bahkan orang tersebut naik pitam, lalu ayahku dipukulnya. Ayahku pedas dalam berkata-kata, tapi dia tak pernah memukul. Dia tak ingin--bukan penakut. Kadang saking kesalnya, habislah piring, gelas, atas kursi sebagai sasaran pelampiasannya. Namun, ia tak pernah main tangan, baik pada orang lain maupun pada keluarga kami.

Pernah suatu hari, ketika ayahku sedang ngawur dan bicara ngalor ngidul, ia membahas apapun yang terlintas di hati, pikiran, atau otaknya. Rumah kami terletak di ujung gang, paling ujung, di mana kendaraan  dan tidak ada yang lewat. Dia berbicara di latar rumah, tanpa peduli tetangga--yang notabene tetangga kami adalah rumah-rumah saudara kandungnya sendiri--- memperhatikan atau mendengarkan gelagatnya.

Kadang dia membahas hal yang sangat filosofis ala kadarnya, kebaikan seseorang, atau kejahatan seseorang, pernah juga ia membahas soal intrik atau akal bulus seseorang yang licik. Tentu saja, kengawuran isi pembicaraannya itu berdasarkan sugesti, pola pikir, nilai-nilai, setan-setan, dan jin-jin yang ada dalam dirinya.

Saudara-saudaranya pun mendengar dan meresapinya. Mungkin saat itu, saudaranya sedang kalap atau tak punya uang maka dengan mudahnya tersulut. Pikiran mereka susah dan sempit. Padahal mereka tahu, saudaranya ini memang sakit. Mereka pun mengadu domba yang lain bahwa ayahku membicarakan hal yang mereka tidak suka. Maka pertengkaran besar pun terjadi. Ayahku menjadi tertuduh: orang yang dipersalahkan atas kata-katanya. Padahal bila mereka mau mencerna, kata-kata yang keluar dari mulut ayahku hanya omongan dan pelampiasan orang gila yang sedang bermain dengan pikirannya sendiri. Tak perlu diresapi dengan serius. Mungkin perlu diluruskan dengan pendekatan tertentu. Pendekatan yang sangat halus.
Sayangnya, pendekatan yang dikenal oleh saudara-saudaranya adalah kekerasan, baik verbal maupun non-verbal.

Kala itu, ada yang membentak, ada yang melotot dan matanya hampir keluar, ada yang hendak memukul, ada yang membawa kayu batangan, ada yang membawa golok, ada yang merusak rumahku, para wanita dan anak-anak hanya bisa ketakutan dan ada yang menangis, ada yang melerai dan ada yang hampir mau pingsan.

Ayahku dikeroyok dalam artian sebenarnya akibat kata-katanya sendiri.

Aku saat itu: sangat aku tak berani keluar rumah, aku menangis.
Aku, kakak, dan ibuku melihat ayahku dibombardir dengan wajah-wajah beringas saudara-saudara kandung bahkan ayah kandungnya sendiri. Aku ketakutan dan menangis tersedu-sedu di dalam rumah.
Mereka menghantam tanpa bisa dilerai. Tetangga yang bukan saudara, tak ada yang berani memasuki gang rumah kami. Mereka menyebut gang rumah kami: gang kompor. Segala api, panas, amarah, kerap tumpah menghancurkan perabot rumah tangga, memekakan telinga akibat suara yang overtune.

*
Saat itu mereka sama-sama panas. Terbakar oleh kata-kata. Kata-kata yang seharusnya tak usah mereka dengarkan dan mempersulit kondisi saat itu.
Mereka semua berubah jadi orang gila yang tak beda dengan ayahku.

Bodoh.

Ya mereka memang bodoh karena tak sekolah. Mereka putus sekolah karena tak ada biaya. Sebagian dari mereka putus sekolah karena tak ada kemauan. Sebagian dari mereka termasuk ayahku putus sekolah karena tak ada kemampuan untuk bayar biaya sekolah. Belum lagi rasa malu yang harus ditanggung ketika wali kelas menyebutkan siapa-siapa saja siswa yang belum bayar sekolah atau bahkan menunggak beberapa bulan, kala itu, sekitar tahun 60-70-an. Begitu cerita ayahku mengenai kondisi sekolah dan guru zaman dulu yang selalu mengumumkan dengan suara keras-keras soal siapa saja murid yang belum bayar iuran sekolah.

Akhirnya, tanpa pendidikan, mereka terbentuk menjadi orang yang berpikiran sempit, berpenyakit hati, dan solusi atas segala permasalahan mereka adalah selalu kekerasan, baik  verbal maupun non-verbal.
Nasib ayahku sebenarnya jauh--sangat jauh-- lebih beruntung dari mereka: saudara-saudara kandung dan bahkan orang tua kandung ayahku. Namun, mereka dan permasalahan mereka yang membuat ayahku seperti sekarang ini: ia jadi pemarah, pemurung, pendendam, pembenci, suka bicara sendiri seakan ada yang mengajaknya berbicara.

My pity dad. What a pity!

No comments:

Post a Comment