January 02, 2020

Generalisasi Laki-laki Bajingan

Semua berkumpul, ada seorang manusia yang pernah memiliki angan tinggi yang tergapai, hidup dalam keteraturan dan mendapatkan segala apapun yang telah ia rencanakan.
Elegi tercipta seiring dengan kedewasaannya yang berkembang. Berharap terus menjadi anak-anak atau sekadar berhenti tumbuh pada usia remaja karena mendapati kedewasaan membuat fisik dan mentalnya remuk dalam menghadapi kenyataan hidup yang tak sempurna, tak selalu sejalan dengan teori, dan tak masuk akal.
Seiring bertambahnya usia, ia mendapati pengalaman-pengalaman tiada mengenakkan antara dia dan lelaki bajingan. Begitulah ia menyebut para lelaki itu. Bukan hanya karena mereka bajingan, tapi keinginan eksplorasi, rasa penasaran atas hasrat yang muncul dari alam bawah sadarnya sendiri telah menjerumuskannya pada tangan-tangan yang salah.
Ia ingin bercerita dalam untaian kata yang terhimpun dalam dua paragraf dan melompat ke cerita selanjutnya melalui untaian dua paragraf lainnya. Berikut ini adalah karangan singkat sebagai bentuk penyampaian elegi kedewasaan dan generalisasinya mengenai laki-laki.

Usianya baru 15 tahun, saat satu sentuhan lembut sebelum tidur begitu terasa memabukkan untuknya, hingga akhirnya ia tertidur sambil kakinya digelitik lembut oleh sang ayah. Geli, membuai, dan membuatnya cepat terkantuk. Hingga hal ini menjadi kebiasaan yang jarang sekali terlewat: ritual sang bapak untuk meninabobokan anaknya.

Ia tak sadar buaiannya menjadi gelitikan sialan yang beralih dari telapak tangan, melompat ke perut hingga ke payudara kecil sang anak. Sang anak terdiam dan bingung, berusaha tertidur namun isi kepala mengajaknya untuk berpikir mencari definisi atas apa yang sedang dialami.

Ia teringat saat usianya masih 9 tahun, ketika ia mendapati ayah ibunya bernapas dalam peluh dengan posisi samar yang tertutup kelambu. Ia tak sadar ada aksi misionari di dalam kelambu. Terekam jelas, dan pikirannya berproses untuk mengimitasi.

Saat seorang temannya bermain ke rumah, ia bertutur tentang apa yang ia lihat dan berkata untuk bermain selayaknya ayah dan ibu. Ia menjelaskan bahwa selalu ada adegan ayah dan ibu di balik kelambu, ia menyumbang ide untuk melakukannya saat bermain peran tersebut. Ia pun memulai adegan sambil berkata, "Tindih aku."

Usia 16 tahun tak membuatnya berhenti berkeksplorasi. Ia mengiyakan buaian lelaki untuk bertemu di luar dengan jarak 2 kilometer dari rumahnya. Ia bertemu tanpa mempertimbangkan rupa, level bahaya dan risiko yang akan didapat. Ia terperangkap dalam obrolan ukuran 36 yang dicari-cari lawan bicara. Sang lawan bicara menyentuhnya meski mencerca dirinya karena masih berukuran 32.

Ia pulang dalam rasa bersalah. Sekali lagi ia merasa kotor telah tersentuh oleh laki-laki bertanda lahir di wajah dan berjanji tak akan mengulangi lagi untuk bertemu seseorang yang hanya penasaran dengan bentuk tubuhnya yang sama sekali belum dipahaminya, yang sama sekali ia tak dipaham: apa itu ukuran 32 dan 36?

Saat menginjak usia 17 tahun, ia mulai merasa dewasa. Pada usia ini, ia merasa dapat mengambil keputusan sendiri, termasuk keputusan getir yang membuatnya hilang dari peredaran. Ia memberanikan diri mencoba hal yang sangat baru dalam hidupnya: memakan omongan laki-laki pembual wanita. Omongan itu dilahap dan ditelannya bulat-bulat.

Dalam beberapa waktu ia merasa sangat diinginkan. Dalam beberapa waktu setelahnya ia merasa dimanfaatkan, diperbudak dan dieksploitasi. Dalam beberapa waktu lainnya mulai muncul perasaan terbuang, tak berarti. Dalam beberapa waktu setelahnya lagi ia merasa lebih memilih mengakhiri hidupnya dengan tak makan tiga hari. Namun, usahanya sia-sia. Ia masih bernapas di hari keempat seperti mayat hidup yang berjalan tanpa asa. Kosong tak berisi, kotor selayaknya sampah.

Usia 18 tahun, ia masih merasa belum bisa mengalihkan pikirannya atas keinginan untuk mati. Ia takut jatuh cinta. Hingga pada usia 20 tahun ia dikenalkan dengan lelaki bajingan lainnya yang terbungkus dengan wajah sempurna, gigi depan yang hampir patah, serta citra diri sebagai laki-laki yang mau berusaha, namun mudah sekali terpicu demotivasi.

Ia menjalani hubungan dalam diam 4 triwulan. Setelah hari itu, ia mengumpulkan keberanian untuk mengenalkan laki-laki itu pada orang tuanya. Kala itu, ia yakin, laki-laki ini bukan bajingan. Ia punya harapan untuk membangun keluarga kecil. Ia linglung, karena bermimpi terlalu dalam. Laki-laki itu, tak mampu merengkuh keinginannya atas sebuah pernikahan. Ia bersabar dengan menganggap waktu adalah sebuah investasi. 5 tahun berlalu dengan pria yang sama. Menunggu kesia-siaan dengan hasil yang nihil.

Ia memutuskan berhenti berkomitmen, ia merasa tak pantas untuk siapa pun dan berpikir usia hanyalah angka. Ia sangat ingin mengakhiri hidupnya untuk kedua kalinya, namun ia sadar hal tersebut hanya menimbulkan kesulitan bagi yang ia tinggalkan. Ia hanya mampu berharap keinginan tersebut tak datang untuk ketiga kalinya. Karena saat itu tiba, ia merasa waktu adalah permainan angka yang tak harus dikejar. Bila saat itu tiba, ia berjanji tak akan meratap, karena segalanya telah menjadi hambar dan tak bergejolak lagi.
Bila saat itu tiba, mati pun buatnya tak mengapa karena penyesalan telah memegang kendali. Perasaan itu hidup dan menggandeng waktu dengan erat untuk membisikkan kata-kata dalam desis, "Ayo datang bersama-sama untuk menertawai dirinya terbahak-bahak tanpa ampun."


**bersambung**