November 15, 2014

Ayah, Mengapa Saudaramu Seperti Anjing?

Tulisan ini dibuat ketika aku sudah menenangkan diri, dan baru saja melalui suatu kejadian yang membuat tubuhku gemetar.

***

Aku hidup di sebuah rumah yang letaknya terasing. Penghabisan gang buntu, itulah rumahku. Sebenarnya bukan gang buntu, hanya saja di belakang rumahku ada tembok yang sengaja dibangun sebagai pembatas bagian tanah sang empunya. Di baliknya itu ada jalan yang membuka akses langsung ke jalan besar.

Sebelumnya, beberapa penghuni sekitar rumahku sempat menanyakan dan meminta izin pada sang empunya tanah untuk membuka akses jalan bagi kami, tapi sang empunya tanah menolak. Ia tak rela jalanannya dipakai kami.

Aku hidup di daerah yang sanitasi airnya tidak bagus. Tidak ada saluran got di sini. Air pun  berasal dari jetpam. Air tanah. Bayangkan saja, sirkulasinya?
Septitank, air limbah, dan air bersih terolah jadi satu. Nice, bukan?

Sewaktu aku masih bersekolah di sekolah dasar, para penguni sengaja membangun sebuah penampungan air. Penampungan limbah rumah tangga sedalam tiga meter. Alhasil, belasan tahun kemudian rumah kami menjadi sarang nyamuk yang jumlahnya tak terkira.

Sempat beberapa kali, penghuni di sini meminta kepada ibu yang tinggal di kompleks depan, di mana tembok belakang rumahnya menempel dengan tembok rumah kami, kami meminta kebaikannya.
"Bu, bolehkah kami memasang saluran got yang menyambung ke got besar yang ada di jalan besar sana, namun, kami meminta izin untuk menyambungnya melalui saluran got yang ada di samping rumah ibu?"

Respon Sang Ibu: menolak.

Mereka tidak mau ada akses bagi kami untuk mendapatkan utilitas air yang lebih baik.

Apa penyebabnya?
Mereka tidak mau berurusan dengan orang tua yang ada di sini.

***

Bulan ini, sudah tiga kali ayahku mendapat masalah dengan orang yang sama, dengan masalah yang berbeda-beda, bahkan terdengar lucu dan bodoh--bahkan bisa dibilang goblok.

Kami tinggal di pojokan, di mana rumah kami dikelilingi oleh rumah saudara-saudara dari ayahku.
Sebenarnya hanya ada empat rumah di sini, yaitu, rumahku, rumah kakak perempuan tertua dari ayahku, rumah kakak laki-laki tertua dari ayahku, dan rumah orang tua ayahku (kedua-duanya almarhum). Rumah orang tua ayahku kini ditinggali oleh dua keluarga, adik laki-laki ayahku (yang dikenal sebagai jagoan kampung-memiliki seorang istri dan dua anak perempuan yang masih ABG), dan adik laki-laki termuda dari ayahku (duda beranak 1).

Mereka hidup tanpa kerukunan, tanpa perhatian, saling tikam, dan saling hasut antar saudara. Keluarga ayahku betul-betul aneh.
Mereka berani membentak orang tua, menodongkan golok ke saudaranya sendiri, menghasut satu sama lain, berani memukul saudaranya dengan kayu balok, dan berani memukul mulut sang ayah (almarhum kakekku) dengan batu hingga berdarah. Aneh, bukan? ANEH!

Mengapa bisa begitu? Keluarga ayahku terbentuk dari ayah (kakek) yang tukang kawin, suka judi, dan baru insyaf di kala uzur. Keluarga ayahku terbentuk dari ibu (nenek) yang memiliki banyak anak, suka menceritakan segala kesusahan kepada siapapun yang ditemuinya dan selalu ambil pusing urusan orang.
Keluarga ayahku terbentuk dari orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya hingga SMA, rata-rata tidak bersekolah, dan hanya anak laki-laki termuda dari keluarga ayahku saja yang lulusan sekolahnya paling tinggi: SMP. Ayahku? Dia hanya mampu mengemban pendidikan hingga kelas 3 SD. Bukan karena tidak ada keinginan untuk belajar, namun karena tidak mampu bayar sekolah.

Ayahku pernah bercerita, "Zaman dahulu, hal yang paling memalukan ketika sekolah adalah ketika sang guru menagih uang bayaran, dan menyebutkan siapa-siapa saja yang nunggak belum bayar. Bukannya tidak mau sekolah, tapi lebih baik Bapak jualan es aja sama keluarga Pak Bahar," begitu kenangnya.

***
Kolam dengan air got sedalam tiga meter yang terletak di belakang rumahku baru-baru ini diurug ayahku. Sebab, ada keajaiban, ada keluarga-yang tembok belakangnya menempel dengan rumah kami- mau memberikan jalur air untuk keluarga ayahku. Bukan saluran air untuk rumahku. Namun, dalam hal ini, kami semua (termasuk keluargaku) ikut patungan.

Aku tak habis pikir, soal duit mereka (saudara ayahku) dengan mudah meminta setoran, alasannya, "ini hajat hidup kita bersama". Padahal jalur air yang akan dibangun itu diperuntukkan bagi rumah almarhum kakek nenekku yang nota bene saat ini ditinggali dua adik dari ayahku.

Atas persaudaraan kami setuju saling bantu, spend some money for a good life. We spend not for benefit but for brotherhood.

***
Sebenarnya aku sudah muak tinggal di sini karena pola kehidupannya itu-itu saja.
Jelang akhir bulan, keluarga kami mulai jadi musuh, bila kami salah kata atau salah dalam berperilaku, maka gonggongan anjing-anjing tak kunjung selesai.

Mereka mengetes kami agar tersulut emosi.

Bila keluarga ayahku sedang tak punya uang, ada saja yang dilakukannya, misalnya dengan adik dari ayahku yang parkir motor sembarangan atau melintang. Padahal dia tahu kami tinggal di gang sempit dengan kendaraan utama sepeda motor.

Dia berharap kami memohon agar dia menggeser motornya lurus agar motor yang lain bisa lewat.

Untuk apa kami lakukan itu? Untuk apa kami memohon atas orang yang sudah melakukan kesalahan dengan kebodohannya sendiri, kesalahan yang dilakukan dengan landasan pikiran yang dangkal dan sempit.

Ada lagi kelakuan dari kakak laki-laki tertua dari ayahku. Bukan karena motor yang diparkir melintang, tapi gerobak. Dia tahu setiap weekdays aku berangkat bekerja, dan dia biasanya baru menggeser gerobaknya di tengah gang keluar masuk motor kami sekitar pukul 9-10 pagi. Tapi apa yang terjadi bila mereka sedang ingin memancing keributan alias tanggung bulan alias sedang tidak punya uang? Dia sudah menggeser gerobak laknatnya itu sejak pukul 7.30 pagi. Tidak ada aktivitas yang dilakukan dengan gerobaknya itu pada pagi hari itu, dia hanya ingin aku memohon padanya agar dia menggeser gerobaknya itu, karena aku nggak bisa lewat karena Mobil Merci kesayangannya sudah terparkir di tengah jalan. Bila aku tidak memohon apa yang terjadi? Sumpah serapah, cercaan, "anak yang sekolah tinggi tapi nggak tahu adat, nggak sopan, nggak hormat orang tua" pasti keluar dari mulut biadabnya.

Ya, melabel orang itu sangat mudah. Apalagi melabel keluargaku. Entah apa salah ayah dan keluargaku, mengapa mereka memusuhi kami. Dari aku kecil hingga aku besar, kami berusaha, selalu berusaha menghindari perseturuan, tapi selalu saja terjadi, hal-hal yang membuat kami takut, merasa tidak aman, dan muak.

Pernah suatu ketika kami keluar dengan sepeda motor kami dan tidak sengaja menyentuh ban dari Merci kesayangannya. Apa yang terjadi? Kami dimaki-maki habis-habisan.

Pernah juga suatu ketika kami dituduh merobek sarung penutup Merci kesayangannya (read: terpal), kami juga dimaki-maki.

Kami tidak merasa, dan kami malas meladeni. Kami hanya mendengar dan berdoa agar pembuluh darahnya segera pecah akibat tensi darah yang melonjak dan aliran darah yang tersumbat atau apalah. Then, I'll say happilly, congratulations!

***
Belum lama ayahku berhenti bekerja sebagai tukang ojek, karena adik termudanya bikin masalah di pangkalan. Dia baru beberapa bulan mangkal di tempat ayahku. Dia menuduh ayahku selalu mengambil pelanggannya, padahal kenyataannya, dia dan tukang ojek lainnya nggak mau mengangkut pelanggan yang ingin diantar ke tempat yang jaraknya dekat. Hanya ayahku yang tak pandang jauh dekat kemana pelanggan akan pergi, "Yang penting ada pemasukkan," pikirnya.

Ibarat kata, mereka rela menunggu kakap walau probabilitasnya sangat kecil, tapi tidak mau melayani teri. Sedangkan ayahku, tak peduli, mau kakap atau teri. Hal terpenting baginya adalah mengantar pelanggan sampai tujuan, toh memang itu landasan dasar dari profesinya.

***
Sesungguhnya kami memang terkesan jahat pada mereka yang suka memaki kami, memukul ayah kami, dan menghasut ayah kami. Sebenarnya kami tidak sejahat itu, tapi sikap kami saat ini adalah menjauhkan diri dari segala marabahaya. Menjauhkan diri dari segala keburukan agar kami selamat. Walaupun marabahaya dan keburukan itu adalah saudara kami sendiri.

Aku merasa aneh saja dengan ikatan persaudaraan ini.

1. Mengapa selalu ayah kami yang menjadi sasaran? Apakah karena ayahku tidak waras?
Pernah kakak lelaki tertua dari ayahku mengatakan bahwa ayahku tidak gila, maka dari itu dia kasar pada ayahku. Dia bilang, "Bila dia gila maka saat ini dia telanjang tak pakai baju!"

Aku tersenyum pahit, ternyata sedangkal itu definisinya atas term gila.

2. Mengapa mereka sangat perhitungan atas keluarga kami?
Pernah suatu ketika kurir datang mengantarkan barang pesananku melalui salah satu toko daring. Saat itu keluargaku sedang tidak ada di rumah, karena ibuku berdagang dan ayahku sedang ngojek, dan aku bekerja. Lalu apa yang dikatakan, "Wah, saya nggak mau terima barang ini, kasihkan saja ke orangnya!"

Kurir pun bingung, dan tak sampai hati bila barang itu ditinggalkan atau diletakkan begitu saja atau memohon pada tetangga kami yang notabene adalah saudara kami sendiri untuk menjaga barang ini dan memberikannya bila kami sudah di rumah. Seakan mission accomplished tapi tidak sepenuhnya selesai.

Akhirnya, kurir pun menghubungiku dan menjelaskan masalahnya. Lagi-lagi aku tersenyum pahit, dan kami (aku dan kurir) memutuskan agar sang kurir datang lagi pada malam hari untuk bertemu denganku langsung di rumah bila dia tidak keberatan. Untungnya dia mengiyakan. Katanya, "Soalnya bila saya kembalikan lagi ke pusat, akan ribet laporannya, karena sebenarnya, alamatnya bukan sulit ditemukan, tapi tidak ada yang mau menerima barang ini."

3. Mengapa mereka baik pada orang lain, tapi tidak pada kami?
Tutur katanya baik, sopan, walaupun aksen tinggi ala betawinya cukup kental. Jadi sesopan apapun akan tetap bercita rasa kasar.

Kesopanan itu bisa ditunjukkan pada orang lain, apalagi orang berduit. Tapi tidak pada kami, mereka masam, raut muka mereka akan berubah bengis bila melihat kami.

***
Mungkin semua itu terjadi karena sikap kami kepada mereka yang acuh dan tak peduli.
Tapi semua itu dilakukan dengan alasan. Kami melakukan itu karena merekalah yang membuat ayah kami gila, merekalah yang membuat ayah kami tidak memiliki pendengaran yang baik, merekalah yang membuat trauma-trauma pada ayah kami dan keluarga kami.

Aku masih ingat ketika mereka datang membawa golok, balok, dan memaki ayah kami, memukul ayah kami, menghancurkan meja kaca rumah kami, dan membuat ibu kami menangis. Aku masih ingat ketika mereka selalu mempermasalahkan sikap ayah kami yang tidak normal, padahal mereka tahu dan sudah hidup dengan ayah kami lebih lama dari kami. Tapi mengapa mereka tidak mengerti juga dengan kondisi ayah kami?

***

Mereka seperti anjing yang tidak bisa diajar, kasar, semaunya, dan menjilat hanya pada tuan yang memberinya makan, buta pada saudara, dan mudah tersulut bila ada sang penghasut.

***
Kami memaafkan tapi tidak sepenuhnya memaafkan, maka acuh dan diam adalah emas untuk saat ini. Menjaga ayah kami adalah nomor 1. Bila sedikit saja ayah kami berdarah, maka mereka akan membayar segalanya dengan karma dan hidup mereka.

Kami masih muda, dan semoga saja kami masih punya waktu untuk melihat masa depan mereka yang sudah mulai dimakan umur. Kami sangat penasaran bagaimana akhirnya hidup mereka, akhirul hayat mereka, dan masa depan anak-anaknya. Keluarga yang dibangun tidak dengan rasa toleransi, melainkan kebencian dan kultur lingkungan yang tidak baik.

***

January 10, 2014

My Pity Dad

Photo ini dibuat ketika Hari Ayah 12 November 2013 lalu.
He's a person that always love me more than anything.
Semarah apa pun dia marah padaku, dia tetap sangat menyayangiku, begitupun aku.


***
Sebelum aku lahir, ibu bercerita bahwa ayahku baik-baik saja.
Sehat. Tidak seperti saat ini.

Hingga umurku 4 atau 5 tahun, seingatku ayahku masih baik-baik saja. Kami sekeluarga rekreasi ke Taman Ria setiap minggunya. Kami cukup bahagia. Ayah menggendongku di pundaknya--selalu. Kakak dituntun oleh ibu sambil membawa rantang makanan.
Kala itu aku dan kakakku cukup mengerti untuk tidak jajan dan cukup senang dengan memakan bekal makanan yang kami bawa dari rumah.

Hingga pada suatu hari, kegiatan rekreasi kami mulai jarang diagendakan. Ayahku jatuh sakit. Panasnya tak kunjung sembuh. Dia demam tinggi.
Saat aku tanya kenapa? Ibu hanya menjawab ayah sedang sakit. Aku tak tahu separah apa sakitnya.
Setelah beberapa lama, ayahku sembuh. Namun, sejak saat itu, seingatku, ayah jadi berubah.
Ia jadi pemarah, pemurung, pendendam, pembenci, suka bicara sendiri seakan ada yang mengajaknya berbicara.

Ia tak pernah keluar rumah. Memilih membantu ibuku di rumah menyiapkan perlengkapan dan membuat kue untuk berdagang. Dia bangun pagi-pagi sekali membantu ibu, menjaga aku ketika ibu berdagang, menjadi pengganti ibu ketika ibu tidak berada di rumah, tapi tetap tidak pernah keluar rumah. Pribadinya tertutup sekali.
Sekalinya keluar rumah, pasti ada saja ulah--kesalahpahaman-- yang dibuatnya. Entah bertengkar dengan saudara kandungnya sendiri atau bertengkar dengan orang lain.

Kadang penyebabnya sangat sepele. Misalnya saja, ketika dia tengah berjalan dan menghampiri seseorang, kebetulan orang tersebut meludah atau menggaruk hidung atau bahkan menggaruk pantatnya sendiri dan perilaku tersebut ayahku anggap sebagai penghinaan.

Ia marah bukan kepalang. Kadang marahnya diluapkan di rumah atau bila orang tersebut sedang sial, ayahku melabraknya dengan sumpah serapah yang tak habis-habisnya. Kampung seketika menjadi ramai dibuatnya.
Ayahku memang begitu, dan awalnya orang banyak terpacu untuk melawannya dengan kekerasan atau adu bacot dengannya, namun lama-kelamaan banyak yang maklum. Bagi yang --waras--tahu apa yang terjadi pada ayahku sebelumnya tentu dia maklum, dan bagi yang --sama-sama tidak waras--belum tahu,  habislah ayahku dimaki-maki habis-habisan atau bahkan orang tersebut naik pitam, lalu ayahku dipukulnya. Ayahku pedas dalam berkata-kata, tapi dia tak pernah memukul. Dia tak ingin--bukan penakut. Kadang saking kesalnya, habislah piring, gelas, atas kursi sebagai sasaran pelampiasannya. Namun, ia tak pernah main tangan, baik pada orang lain maupun pada keluarga kami.

Pernah suatu hari, ketika ayahku sedang ngawur dan bicara ngalor ngidul, ia membahas apapun yang terlintas di hati, pikiran, atau otaknya. Rumah kami terletak di ujung gang, paling ujung, di mana kendaraan  dan tidak ada yang lewat. Dia berbicara di latar rumah, tanpa peduli tetangga--yang notabene tetangga kami adalah rumah-rumah saudara kandungnya sendiri--- memperhatikan atau mendengarkan gelagatnya.

Kadang dia membahas hal yang sangat filosofis ala kadarnya, kebaikan seseorang, atau kejahatan seseorang, pernah juga ia membahas soal intrik atau akal bulus seseorang yang licik. Tentu saja, kengawuran isi pembicaraannya itu berdasarkan sugesti, pola pikir, nilai-nilai, setan-setan, dan jin-jin yang ada dalam dirinya.

Saudara-saudaranya pun mendengar dan meresapinya. Mungkin saat itu, saudaranya sedang kalap atau tak punya uang maka dengan mudahnya tersulut. Pikiran mereka susah dan sempit. Padahal mereka tahu, saudaranya ini memang sakit. Mereka pun mengadu domba yang lain bahwa ayahku membicarakan hal yang mereka tidak suka. Maka pertengkaran besar pun terjadi. Ayahku menjadi tertuduh: orang yang dipersalahkan atas kata-katanya. Padahal bila mereka mau mencerna, kata-kata yang keluar dari mulut ayahku hanya omongan dan pelampiasan orang gila yang sedang bermain dengan pikirannya sendiri. Tak perlu diresapi dengan serius. Mungkin perlu diluruskan dengan pendekatan tertentu. Pendekatan yang sangat halus.
Sayangnya, pendekatan yang dikenal oleh saudara-saudaranya adalah kekerasan, baik verbal maupun non-verbal.

Kala itu, ada yang membentak, ada yang melotot dan matanya hampir keluar, ada yang hendak memukul, ada yang membawa kayu batangan, ada yang membawa golok, ada yang merusak rumahku, para wanita dan anak-anak hanya bisa ketakutan dan ada yang menangis, ada yang melerai dan ada yang hampir mau pingsan.

Ayahku dikeroyok dalam artian sebenarnya akibat kata-katanya sendiri.

Aku saat itu: sangat aku tak berani keluar rumah, aku menangis.
Aku, kakak, dan ibuku melihat ayahku dibombardir dengan wajah-wajah beringas saudara-saudara kandung bahkan ayah kandungnya sendiri. Aku ketakutan dan menangis tersedu-sedu di dalam rumah.
Mereka menghantam tanpa bisa dilerai. Tetangga yang bukan saudara, tak ada yang berani memasuki gang rumah kami. Mereka menyebut gang rumah kami: gang kompor. Segala api, panas, amarah, kerap tumpah menghancurkan perabot rumah tangga, memekakan telinga akibat suara yang overtune.

*
Saat itu mereka sama-sama panas. Terbakar oleh kata-kata. Kata-kata yang seharusnya tak usah mereka dengarkan dan mempersulit kondisi saat itu.
Mereka semua berubah jadi orang gila yang tak beda dengan ayahku.

Bodoh.

Ya mereka memang bodoh karena tak sekolah. Mereka putus sekolah karena tak ada biaya. Sebagian dari mereka putus sekolah karena tak ada kemauan. Sebagian dari mereka termasuk ayahku putus sekolah karena tak ada kemampuan untuk bayar biaya sekolah. Belum lagi rasa malu yang harus ditanggung ketika wali kelas menyebutkan siapa-siapa saja siswa yang belum bayar sekolah atau bahkan menunggak beberapa bulan, kala itu, sekitar tahun 60-70-an. Begitu cerita ayahku mengenai kondisi sekolah dan guru zaman dulu yang selalu mengumumkan dengan suara keras-keras soal siapa saja murid yang belum bayar iuran sekolah.

Akhirnya, tanpa pendidikan, mereka terbentuk menjadi orang yang berpikiran sempit, berpenyakit hati, dan solusi atas segala permasalahan mereka adalah selalu kekerasan, baik  verbal maupun non-verbal.
Nasib ayahku sebenarnya jauh--sangat jauh-- lebih beruntung dari mereka: saudara-saudara kandung dan bahkan orang tua kandung ayahku. Namun, mereka dan permasalahan mereka yang membuat ayahku seperti sekarang ini: ia jadi pemarah, pemurung, pendendam, pembenci, suka bicara sendiri seakan ada yang mengajaknya berbicara.

My pity dad. What a pity!