January 02, 2020

Generalisasi Laki-laki Bajingan

Semua berkumpul, ada seorang manusia yang pernah memiliki angan tinggi yang tergapai, hidup dalam keteraturan dan mendapatkan segala apapun yang telah ia rencanakan.
Elegi tercipta seiring dengan kedewasaannya yang berkembang. Berharap terus menjadi anak-anak atau sekadar berhenti tumbuh pada usia remaja karena mendapati kedewasaan membuat fisik dan mentalnya remuk dalam menghadapi kenyataan hidup yang tak sempurna, tak selalu sejalan dengan teori, dan tak masuk akal.
Seiring bertambahnya usia, ia mendapati pengalaman-pengalaman tiada mengenakkan antara dia dan lelaki bajingan. Begitulah ia menyebut para lelaki itu. Bukan hanya karena mereka bajingan, tapi keinginan eksplorasi, rasa penasaran atas hasrat yang muncul dari alam bawah sadarnya sendiri telah menjerumuskannya pada tangan-tangan yang salah.
Ia ingin bercerita dalam untaian kata yang terhimpun dalam dua paragraf dan melompat ke cerita selanjutnya melalui untaian dua paragraf lainnya. Berikut ini adalah karangan singkat sebagai bentuk penyampaian elegi kedewasaan dan generalisasinya mengenai laki-laki.

Usianya baru 15 tahun, saat satu sentuhan lembut sebelum tidur begitu terasa memabukkan untuknya, hingga akhirnya ia tertidur sambil kakinya digelitik lembut oleh sang ayah. Geli, membuai, dan membuatnya cepat terkantuk. Hingga hal ini menjadi kebiasaan yang jarang sekali terlewat: ritual sang bapak untuk meninabobokan anaknya.

Ia tak sadar buaiannya menjadi gelitikan sialan yang beralih dari telapak tangan, melompat ke perut hingga ke payudara kecil sang anak. Sang anak terdiam dan bingung, berusaha tertidur namun isi kepala mengajaknya untuk berpikir mencari definisi atas apa yang sedang dialami.

Ia teringat saat usianya masih 9 tahun, ketika ia mendapati ayah ibunya bernapas dalam peluh dengan posisi samar yang tertutup kelambu. Ia tak sadar ada aksi misionari di dalam kelambu. Terekam jelas, dan pikirannya berproses untuk mengimitasi.

Saat seorang temannya bermain ke rumah, ia bertutur tentang apa yang ia lihat dan berkata untuk bermain selayaknya ayah dan ibu. Ia menjelaskan bahwa selalu ada adegan ayah dan ibu di balik kelambu, ia menyumbang ide untuk melakukannya saat bermain peran tersebut. Ia pun memulai adegan sambil berkata, "Tindih aku."

Usia 16 tahun tak membuatnya berhenti berkeksplorasi. Ia mengiyakan buaian lelaki untuk bertemu di luar dengan jarak 2 kilometer dari rumahnya. Ia bertemu tanpa mempertimbangkan rupa, level bahaya dan risiko yang akan didapat. Ia terperangkap dalam obrolan ukuran 36 yang dicari-cari lawan bicara. Sang lawan bicara menyentuhnya meski mencerca dirinya karena masih berukuran 32.

Ia pulang dalam rasa bersalah. Sekali lagi ia merasa kotor telah tersentuh oleh laki-laki bertanda lahir di wajah dan berjanji tak akan mengulangi lagi untuk bertemu seseorang yang hanya penasaran dengan bentuk tubuhnya yang sama sekali belum dipahaminya, yang sama sekali ia tak dipaham: apa itu ukuran 32 dan 36?

Saat menginjak usia 17 tahun, ia mulai merasa dewasa. Pada usia ini, ia merasa dapat mengambil keputusan sendiri, termasuk keputusan getir yang membuatnya hilang dari peredaran. Ia memberanikan diri mencoba hal yang sangat baru dalam hidupnya: memakan omongan laki-laki pembual wanita. Omongan itu dilahap dan ditelannya bulat-bulat.

Dalam beberapa waktu ia merasa sangat diinginkan. Dalam beberapa waktu setelahnya ia merasa dimanfaatkan, diperbudak dan dieksploitasi. Dalam beberapa waktu lainnya mulai muncul perasaan terbuang, tak berarti. Dalam beberapa waktu setelahnya lagi ia merasa lebih memilih mengakhiri hidupnya dengan tak makan tiga hari. Namun, usahanya sia-sia. Ia masih bernapas di hari keempat seperti mayat hidup yang berjalan tanpa asa. Kosong tak berisi, kotor selayaknya sampah.

Usia 18 tahun, ia masih merasa belum bisa mengalihkan pikirannya atas keinginan untuk mati. Ia takut jatuh cinta. Hingga pada usia 20 tahun ia dikenalkan dengan lelaki bajingan lainnya yang terbungkus dengan wajah sempurna, gigi depan yang hampir patah, serta citra diri sebagai laki-laki yang mau berusaha, namun mudah sekali terpicu demotivasi.

Ia menjalani hubungan dalam diam 4 triwulan. Setelah hari itu, ia mengumpulkan keberanian untuk mengenalkan laki-laki itu pada orang tuanya. Kala itu, ia yakin, laki-laki ini bukan bajingan. Ia punya harapan untuk membangun keluarga kecil. Ia linglung, karena bermimpi terlalu dalam. Laki-laki itu, tak mampu merengkuh keinginannya atas sebuah pernikahan. Ia bersabar dengan menganggap waktu adalah sebuah investasi. 5 tahun berlalu dengan pria yang sama. Menunggu kesia-siaan dengan hasil yang nihil.

Ia memutuskan berhenti berkomitmen, ia merasa tak pantas untuk siapa pun dan berpikir usia hanyalah angka. Ia sangat ingin mengakhiri hidupnya untuk kedua kalinya, namun ia sadar hal tersebut hanya menimbulkan kesulitan bagi yang ia tinggalkan. Ia hanya mampu berharap keinginan tersebut tak datang untuk ketiga kalinya. Karena saat itu tiba, ia merasa waktu adalah permainan angka yang tak harus dikejar. Bila saat itu tiba, ia berjanji tak akan meratap, karena segalanya telah menjadi hambar dan tak bergejolak lagi.
Bila saat itu tiba, mati pun buatnya tak mengapa karena penyesalan telah memegang kendali. Perasaan itu hidup dan menggandeng waktu dengan erat untuk membisikkan kata-kata dalam desis, "Ayo datang bersama-sama untuk menertawai dirinya terbahak-bahak tanpa ampun."


**bersambung**




January 02, 2015

Ayah, Mengapa Saudaramu Seperti Anjing? (Bagian 2)

Tulisan ini bukanlah tulisan bersambung. Aku menuliskannya ketika dirasa perlu, agar ada seseorang yang membaca dan tahu. Kami sedang merasa tidak aman oleh orang-orang yang awalnya kami anggap sebagai keluarga.

***

Cerita ini bermula dipenghujung Desember 2013, tepatnya tanggal 30. Hujan gerimis tak kunjung henti dari sore hingga jelang isya.

Kala itu ada Cang Ame, Kakak tertua dari Ayahku (Cang adalah panggilan untuk saudara yang lebih tua dalam silsilah keluarga, seperti Kakak dari Ibu atau Kakak dari Ayah dalam Bahasa Betawi). Dia sering main ke rumah, karena rumahnya sebelahan dengan rumahku. Ya, hanya kemarilah dia merasa nyaman untuk bercerita apapun.

Aku, ibuku, dan Cang Ame asyik bicara apa pun, ngalor ngidul, sedangkan ayahku sedang asyik mengasah batu aki di ruangan depan. Ya, batu aki dan beragam aktivitasnya sepertinya sekarang sedang tren dalam kalangan menengah bawah, dan mungkin merambah ke kalangan menengah atas?

Saat kami sedang sibuk dengan dunia kami sendiri, tiba-tiba ada saudara laki-laki tertua dari ayahku, dia adalah anak kedua dari nenekku setelah Cang Ame.

Dia seakan bergumam dari kejauhan. Samar-samar suaranya meninggi dan semakin mendekat ke arah rumahku. Akhirnya kami terpaksa mencermati apa yang dia sedang bicarakan sendirian dengan nada kesal dan penuh amarah.

Aku mendengar dia berkata, “Berani-beraninye lu nyari masalah sama gue! Gue Cuma naro barang rongsok aje lu pindah-pindahin. Awas lu nyari masalah lagi sama gue, gue tebas leher lu.”

Begitu katanya.

Aku merasa aneh, dia berdiri sekitar 3 meter dari rumah kami, dia bertelanjang dada. Bila dia punya masalah pada keluargaku mengapa tidak bicara saja secara langsung? Katakan apa yang dia maksud.

Karena merasa insecure, aku keluar rumah dan menanyakan, “Emang ada apa sih?”

Dia berkata dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya, “Gue kagak demen sama babe lu!”

          “Lah, terus kenape?”
“Gue naro barang di kebon dipindah-pindahin!”
          “Emang barang apaan?
“Barang rongsok gue, lemari nggak kepake!”
          “Yaudah ntar Nia bilangin sama babe.” Padahal ayahku ada di sampingku saat itu, karena ia masih asyik mengasah batu. Ayahku tidak mendengar lantaran pendengarannya yang kurang.

Aku berusaha agar ayahku tidak mendengar, karena memberikan penjelasan kepada ayahku membutuhkan pendekatan personal, tanpa amarah, dan dengan mimik wajah yang tenang.

Mendengar jawabanku, bahwa keluh kesah dia akan aku sampaikan, rasanya dia tidak senang. Dia mau cari ribut. Nadanya kembali meninggi dan membabi buta.

“Gue nggak demen sama babe lu, segala barang begitu aje pake dipindah-pindahin!!!!”
“Lagian, paling bukan dipindahin, die suka beresin kebon, bersih-bersih belakang.”
“Ye, emangnye gue nggak pernah bersihin, hah?”
          “Ye, bukannye begitu, bukan masalah bersih-bersih. Suara lu emang enak didenger? Ngomong begitu nggak enak didenger!” Kaki dan tanganku gemetar karena suara meninggi.

Tiba-tiba Cang Ame keluar dari rumahku dan menimpali, “Yaudah, ngomong sama sodare begitu, ntar dikasih tahu sama Nia.” Saat itu, ayahku masih asyik mengasah batu. Aku berdoa agar ayahku tidak mendengar.

“LU NGGAK USAH IKUT CAMPUR, ME!” Suaranya makin tinggi seakan mau makan orang. Aku tak melihat dia sebagai manusia, melainkan iblis!

Tiba-tiba ayahku menghentikan kegiatannya, “Kenape Nia? Ade ape? Ntu die kenape begitu? Ngomong sama siape?” kata Ayahku nyerocos.
          “Engga ada apa-apa, Be.”
Dia mengulangi omelannya soal barang rongsok yang dipindahkan. Suara dia makin besar dan tidak enak didengar. Aku mengulangi pernyataanku, “Yaudah ntar Nia kasih tahu.”

Dia mengulangi lagi dengan nada suara yang lebih tinggi, dia benar-benar mau ngajak berantem ayahku, karena rasanya belum puas hatinya karena ayahku tidak naik pitam.
Setengah teriak aku katakana lagi (untuk kesekian kalinya aku mengatakan), “YAUDAH CANG ADI, NTAR NIA KASIH TAHU BABE!”

Aku berusaha untuk tidak mengeluarkan kata-kata baru, karena hanya akan mengundang jiwa-jiwa iblis yang sedang kesusahan karena dilanda paceklik di akhir bulan.

Dia mundur perlahan, lalu aku menanyakan pada ayahku, “Babe tadi pas bersih-bersih kebon, emang mindahin barangnye die?”

“Kagak. Gue cuma nyapuin, terus nabun (nabun berasal dari kata tabun yang artinya bakar sampah).”

Aku teriak, “Tuh, babe gue kagak ngapa-ngapain, orang cuma nabun! Kalo bukan babe gue yang ngelakuin, udah fitnah lu!”
          Lalu aku bertanya lagi pada ayahku, “Terus tadi kenape dia ngerasa barangnye dipindahin?”
“Ya, kagak tahu. Oh, lemarinye kali? Tadi cuma dipindahin naekin ke atas biar sekelompok sama barang-barang die, soalnye kan lagi nabun, takut kebakar.”
          Aku kembali teriak, “Noh barang lu tuh dipindahin biar kagak kebakar! Lagian dipindahin aje, marahnye kayak mau makan orang. Kecuali barang lu ilang. Kayak benda apaan aje. Emang aje lu lagi nyari mangsa.”

Aku masuk ke rumah, masih dalam kondisi gemetar. “Aku bergumam, tanggung bulan kali lu, pulang dagang asinan kagak dapet duit, bini lu yang tukang ngadu, bukannya seduhin teh, jedogin makanan, malah ngadu domba!”

Alhasil, ayahku bicara semalaman. Dia tidak boleh dilanda peristiwa semacam ini, syarafnya akan terganggu, dia akan bicara semalaman hingga hatinya puas. Oleh karena itu, aku sangat berusaha untuk membuat hati ayahku senantiasa senang, agar pikirannya tidak sempit dan dengki seperti saudara-saudaranya.

“Mereka enak, abis ngomong, keluarin unek-unek dengan suara yang membabi buta, sudah itu pergi! Nah, tinggal gue sama emak gue yang pusing buat nenangin babe gue biar diem, dan berhenti ngomong. Bangsat!” pikirku dalam hati.

“Yaudah mulai besok jangan maen ke kebon lagi, biarin aje, kagak usah diapa-apain,” kataku kepada ayahku.
“Ada emas kali di situ, lemari itu tanda die ngubur emasnye di dalem.” Kataku kepada ibuku dengan nada nyinyir.

***
Tahukah kamu? Kejadian ini hampir selalu terulang di setiap akhir bulan. Memang begitulah polanya: tidak punya uang, pikiran sempit, mata pencaharian tiada membuahkan hasil, bumbu-bumbu pemanas, mencari mangsa terlemah, dan DHUAR! Ledakan!

Ada saja gara-gara yang mereka cari. Padahal kami sudah berusaha apatis, sejak tukang asinan itu berkata bahwa hubungannya dengan ayahku bukanlah hubungan saudara lagi. Kamu tahu? Kami senang dengan pernyataan itu. Karena tidak ada untungnya bersaudara dengan orang yang selalu bicara manis pada orang lain, tapi membentak, menghakimi, dan main tangan pada saudara sendiri.

Aku pernah melihat tetangga depan begitu ketakutan setiap melihat ayahku, seakan dia akan dilahap oleh ayahku. Ya, memang. Memang ayahku bekas gila, tapi tidak perlu seperti itu. Aku pun tahu, bahwa kamu sudah termakan cerita dari istri tukang asinan itu. Aku tidak peduli, karena Tuhan Maha Melihat. Tuhan Maha Mendengar. Yang perlu aku lakukan hanya berdoa agar umur keluargaku panjang, selalu dilingkupi kebahagiaan, dan ayahku segera diangkat penyakitnya, agar bisa melihat akhir hayat orang-orang yang sudah menjahati ayahku.


***
3 Januari 2015
Baru saja aku menerima telepon. Ternyata Cang Ame. Aku pikir dia akan menanyakan apakah pintu rumahnya sudah digembok atau belum. Maklum, umur 60an sudah mulai pelupa dan memang itu kebiasaannya bila menelepon: menanyakan apakah pintu rumahnya sudah tergembok.

Ternyata tidak seperti anggapanku. Dia ingin bercerita. Cerita lanjutan dari peristiwa di penghujung Desember 2014.

“Nia, Babe lu udah keluar rumah?”
          “Belom, kenape Cang Ame?”
“Kagak, Cang Ame mau kasih tahu, tadi si Komeng (adik laki-laki termuda dari ayahku) lagi jemur helm di teras rumah. Dia lagi cari gara-gara. Hati-hati, ye!” kata Cang Ame.

Dia pun melanjutkan,”Soalnye gini, kemaren pas hari Kamis (1 Januari 2015), die ngomong sendiri, die bilang, sodare kaga ada yang bener. Alip (ayahku) tuh bukannya gile, bukannye stress, awas aje kalo nyari masalah lagi sama gue, gue bunuh! Nah, dari situ Cang Ame baru denger dah tuh, die kayak mau cari masalah. Udah gitu Cang Ame dibilangin, katanya, “Lu lagi, Me. Bang Adi lagi bilangin Alip, lu malah ikut campur!” Cang Ame bilang aja gini, “Gue bukannye ikut campur, gue nengahin, lagian ngomong sama sodare begitu,” seloroh Cang Ame.

Ya, setan sambel cuka sudah menceritakan kisah di penghujung Desember lalu pada setan bengek. Aku memanggilnya begitu, karena memang begitu adanya. Dia adalah sosok setan dalam balutan manusia. Aku heran, ayahku yang bekas sakit pun heran dengan kelakuan saudara-saudara lakinya, katanya, “Udah pada tua bukannya bawa wibawa tua. Ini malah ngajak berantem mulu.”

Aku tak habis pikir, mengapa mereka sangat dendam pada ayahku. Padahal ayahku mengasihani mereka. Tapi semua itu sirna bilamana ayahku mengingat akan todongan kayu, golok, pisau, yang dihadapkan padanya. Pantas saja ayahku gila, dia trauma melihat kelakuan iblis-iblis dalam lingkaran keluarganya!

Pernah suatu ketika, setan bengek menodongkan pisau saat ayahku sedang mangkal di pangkalan ojek. Dia merasa ayahku mengambil penumpangnya.

Padahal kalau dia mau bicara baik-baik itu bisa, karena kenyataannya bukan mengambil penumpang, melainkan dia tidak mau membawa penumpang yang jaraknya sangat dekat dengan bayaran Rp 5-10 ribu. Sedangkan ayahku, never say no, it’s money, small or big, it’s income!

Ayahku pun sering kasihan dengannya, oleh karenanya, ketika dia ada masalah dengan pangkalan yang sebelumnya (dia sempat masuk bui karena ada konflik dengan tukang ojek di pangkalan sebelumnya), ayahku menawarkan untuk mangkal di pangkalan ayahku.

Ya, kacang lupa kulit. Manusia tak punya adab memang begitu, tak pandang dia sering pinjam uang dan masih punya hutang pada ibuku, tak pandang aku sering mengajarkan anaknya yang piatu selepas maghrib, dan tak pandang ayahku yang membantunya, masih saja dia menodongkan pisau pada ayahku.

Solusinya, ayahku berhenti ngojek hingga saat ini. Aku yakin, tanpa ngojek pun ayahku bahagia dengan gajiku. Walau kadang ayahku berkeluh kesah karena merasa tidak ada aktivitas yang bisa dia lakukan. Dia senang bergerak, bekerja, dan mendapatkan hasil. Tapi, pembawaannya yang rajin (walau agak serampangan) ini selalu saja mengundang rasa dengki dari saudara-sauraranya.

Yeah, I just wanna say, Ayah, Mengapa Saudaramu Seperti Anjing?

Siapa pun yang membaca, aku mohon maaf, bila aku terkesan pendendam, percayalah, aku tidak begitu. Aku lebih tenang dibandingkan kakak perempuanku yang mudah naik darah. Aku percaya akan ada cahaya terang, di mana keluargaku akan terbebas dari gang kompor ini.

Bila ada sesuatu yang buruk terjadi pada ayahku atau anggota keluargaku, apalagi karena terbunuh, aku tidak akan diam.
Bila kamu bertanya, “Mengapa tidak pindah rumah saja?”
Aku akan menjawab kalau keluargaku masih belum bisa pindah, ada yang kami pertahankan: rumah kami, dan hak kami.





November 15, 2014

Ayah, Mengapa Saudaramu Seperti Anjing?

Tulisan ini dibuat ketika aku sudah menenangkan diri, dan baru saja melalui suatu kejadian yang membuat tubuhku gemetar.

***

Aku hidup di sebuah rumah yang letaknya terasing. Penghabisan gang buntu, itulah rumahku. Sebenarnya bukan gang buntu, hanya saja di belakang rumahku ada tembok yang sengaja dibangun sebagai pembatas bagian tanah sang empunya. Di baliknya itu ada jalan yang membuka akses langsung ke jalan besar.

Sebelumnya, beberapa penghuni sekitar rumahku sempat menanyakan dan meminta izin pada sang empunya tanah untuk membuka akses jalan bagi kami, tapi sang empunya tanah menolak. Ia tak rela jalanannya dipakai kami.

Aku hidup di daerah yang sanitasi airnya tidak bagus. Tidak ada saluran got di sini. Air pun  berasal dari jetpam. Air tanah. Bayangkan saja, sirkulasinya?
Septitank, air limbah, dan air bersih terolah jadi satu. Nice, bukan?

Sewaktu aku masih bersekolah di sekolah dasar, para penguni sengaja membangun sebuah penampungan air. Penampungan limbah rumah tangga sedalam tiga meter. Alhasil, belasan tahun kemudian rumah kami menjadi sarang nyamuk yang jumlahnya tak terkira.

Sempat beberapa kali, penghuni di sini meminta kepada ibu yang tinggal di kompleks depan, di mana tembok belakang rumahnya menempel dengan tembok rumah kami, kami meminta kebaikannya.
"Bu, bolehkah kami memasang saluran got yang menyambung ke got besar yang ada di jalan besar sana, namun, kami meminta izin untuk menyambungnya melalui saluran got yang ada di samping rumah ibu?"

Respon Sang Ibu: menolak.

Mereka tidak mau ada akses bagi kami untuk mendapatkan utilitas air yang lebih baik.

Apa penyebabnya?
Mereka tidak mau berurusan dengan orang tua yang ada di sini.

***

Bulan ini, sudah tiga kali ayahku mendapat masalah dengan orang yang sama, dengan masalah yang berbeda-beda, bahkan terdengar lucu dan bodoh--bahkan bisa dibilang goblok.

Kami tinggal di pojokan, di mana rumah kami dikelilingi oleh rumah saudara-saudara dari ayahku.
Sebenarnya hanya ada empat rumah di sini, yaitu, rumahku, rumah kakak perempuan tertua dari ayahku, rumah kakak laki-laki tertua dari ayahku, dan rumah orang tua ayahku (kedua-duanya almarhum). Rumah orang tua ayahku kini ditinggali oleh dua keluarga, adik laki-laki ayahku (yang dikenal sebagai jagoan kampung-memiliki seorang istri dan dua anak perempuan yang masih ABG), dan adik laki-laki termuda dari ayahku (duda beranak 1).

Mereka hidup tanpa kerukunan, tanpa perhatian, saling tikam, dan saling hasut antar saudara. Keluarga ayahku betul-betul aneh.
Mereka berani membentak orang tua, menodongkan golok ke saudaranya sendiri, menghasut satu sama lain, berani memukul saudaranya dengan kayu balok, dan berani memukul mulut sang ayah (almarhum kakekku) dengan batu hingga berdarah. Aneh, bukan? ANEH!

Mengapa bisa begitu? Keluarga ayahku terbentuk dari ayah (kakek) yang tukang kawin, suka judi, dan baru insyaf di kala uzur. Keluarga ayahku terbentuk dari ibu (nenek) yang memiliki banyak anak, suka menceritakan segala kesusahan kepada siapapun yang ditemuinya dan selalu ambil pusing urusan orang.
Keluarga ayahku terbentuk dari orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya hingga SMA, rata-rata tidak bersekolah, dan hanya anak laki-laki termuda dari keluarga ayahku saja yang lulusan sekolahnya paling tinggi: SMP. Ayahku? Dia hanya mampu mengemban pendidikan hingga kelas 3 SD. Bukan karena tidak ada keinginan untuk belajar, namun karena tidak mampu bayar sekolah.

Ayahku pernah bercerita, "Zaman dahulu, hal yang paling memalukan ketika sekolah adalah ketika sang guru menagih uang bayaran, dan menyebutkan siapa-siapa saja yang nunggak belum bayar. Bukannya tidak mau sekolah, tapi lebih baik Bapak jualan es aja sama keluarga Pak Bahar," begitu kenangnya.

***
Kolam dengan air got sedalam tiga meter yang terletak di belakang rumahku baru-baru ini diurug ayahku. Sebab, ada keajaiban, ada keluarga-yang tembok belakangnya menempel dengan rumah kami- mau memberikan jalur air untuk keluarga ayahku. Bukan saluran air untuk rumahku. Namun, dalam hal ini, kami semua (termasuk keluargaku) ikut patungan.

Aku tak habis pikir, soal duit mereka (saudara ayahku) dengan mudah meminta setoran, alasannya, "ini hajat hidup kita bersama". Padahal jalur air yang akan dibangun itu diperuntukkan bagi rumah almarhum kakek nenekku yang nota bene saat ini ditinggali dua adik dari ayahku.

Atas persaudaraan kami setuju saling bantu, spend some money for a good life. We spend not for benefit but for brotherhood.

***
Sebenarnya aku sudah muak tinggal di sini karena pola kehidupannya itu-itu saja.
Jelang akhir bulan, keluarga kami mulai jadi musuh, bila kami salah kata atau salah dalam berperilaku, maka gonggongan anjing-anjing tak kunjung selesai.

Mereka mengetes kami agar tersulut emosi.

Bila keluarga ayahku sedang tak punya uang, ada saja yang dilakukannya, misalnya dengan adik dari ayahku yang parkir motor sembarangan atau melintang. Padahal dia tahu kami tinggal di gang sempit dengan kendaraan utama sepeda motor.

Dia berharap kami memohon agar dia menggeser motornya lurus agar motor yang lain bisa lewat.

Untuk apa kami lakukan itu? Untuk apa kami memohon atas orang yang sudah melakukan kesalahan dengan kebodohannya sendiri, kesalahan yang dilakukan dengan landasan pikiran yang dangkal dan sempit.

Ada lagi kelakuan dari kakak laki-laki tertua dari ayahku. Bukan karena motor yang diparkir melintang, tapi gerobak. Dia tahu setiap weekdays aku berangkat bekerja, dan dia biasanya baru menggeser gerobaknya di tengah gang keluar masuk motor kami sekitar pukul 9-10 pagi. Tapi apa yang terjadi bila mereka sedang ingin memancing keributan alias tanggung bulan alias sedang tidak punya uang? Dia sudah menggeser gerobak laknatnya itu sejak pukul 7.30 pagi. Tidak ada aktivitas yang dilakukan dengan gerobaknya itu pada pagi hari itu, dia hanya ingin aku memohon padanya agar dia menggeser gerobaknya itu, karena aku nggak bisa lewat karena Mobil Merci kesayangannya sudah terparkir di tengah jalan. Bila aku tidak memohon apa yang terjadi? Sumpah serapah, cercaan, "anak yang sekolah tinggi tapi nggak tahu adat, nggak sopan, nggak hormat orang tua" pasti keluar dari mulut biadabnya.

Ya, melabel orang itu sangat mudah. Apalagi melabel keluargaku. Entah apa salah ayah dan keluargaku, mengapa mereka memusuhi kami. Dari aku kecil hingga aku besar, kami berusaha, selalu berusaha menghindari perseturuan, tapi selalu saja terjadi, hal-hal yang membuat kami takut, merasa tidak aman, dan muak.

Pernah suatu ketika kami keluar dengan sepeda motor kami dan tidak sengaja menyentuh ban dari Merci kesayangannya. Apa yang terjadi? Kami dimaki-maki habis-habisan.

Pernah juga suatu ketika kami dituduh merobek sarung penutup Merci kesayangannya (read: terpal), kami juga dimaki-maki.

Kami tidak merasa, dan kami malas meladeni. Kami hanya mendengar dan berdoa agar pembuluh darahnya segera pecah akibat tensi darah yang melonjak dan aliran darah yang tersumbat atau apalah. Then, I'll say happilly, congratulations!

***
Belum lama ayahku berhenti bekerja sebagai tukang ojek, karena adik termudanya bikin masalah di pangkalan. Dia baru beberapa bulan mangkal di tempat ayahku. Dia menuduh ayahku selalu mengambil pelanggannya, padahal kenyataannya, dia dan tukang ojek lainnya nggak mau mengangkut pelanggan yang ingin diantar ke tempat yang jaraknya dekat. Hanya ayahku yang tak pandang jauh dekat kemana pelanggan akan pergi, "Yang penting ada pemasukkan," pikirnya.

Ibarat kata, mereka rela menunggu kakap walau probabilitasnya sangat kecil, tapi tidak mau melayani teri. Sedangkan ayahku, tak peduli, mau kakap atau teri. Hal terpenting baginya adalah mengantar pelanggan sampai tujuan, toh memang itu landasan dasar dari profesinya.

***
Sesungguhnya kami memang terkesan jahat pada mereka yang suka memaki kami, memukul ayah kami, dan menghasut ayah kami. Sebenarnya kami tidak sejahat itu, tapi sikap kami saat ini adalah menjauhkan diri dari segala marabahaya. Menjauhkan diri dari segala keburukan agar kami selamat. Walaupun marabahaya dan keburukan itu adalah saudara kami sendiri.

Aku merasa aneh saja dengan ikatan persaudaraan ini.

1. Mengapa selalu ayah kami yang menjadi sasaran? Apakah karena ayahku tidak waras?
Pernah kakak lelaki tertua dari ayahku mengatakan bahwa ayahku tidak gila, maka dari itu dia kasar pada ayahku. Dia bilang, "Bila dia gila maka saat ini dia telanjang tak pakai baju!"

Aku tersenyum pahit, ternyata sedangkal itu definisinya atas term gila.

2. Mengapa mereka sangat perhitungan atas keluarga kami?
Pernah suatu ketika kurir datang mengantarkan barang pesananku melalui salah satu toko daring. Saat itu keluargaku sedang tidak ada di rumah, karena ibuku berdagang dan ayahku sedang ngojek, dan aku bekerja. Lalu apa yang dikatakan, "Wah, saya nggak mau terima barang ini, kasihkan saja ke orangnya!"

Kurir pun bingung, dan tak sampai hati bila barang itu ditinggalkan atau diletakkan begitu saja atau memohon pada tetangga kami yang notabene adalah saudara kami sendiri untuk menjaga barang ini dan memberikannya bila kami sudah di rumah. Seakan mission accomplished tapi tidak sepenuhnya selesai.

Akhirnya, kurir pun menghubungiku dan menjelaskan masalahnya. Lagi-lagi aku tersenyum pahit, dan kami (aku dan kurir) memutuskan agar sang kurir datang lagi pada malam hari untuk bertemu denganku langsung di rumah bila dia tidak keberatan. Untungnya dia mengiyakan. Katanya, "Soalnya bila saya kembalikan lagi ke pusat, akan ribet laporannya, karena sebenarnya, alamatnya bukan sulit ditemukan, tapi tidak ada yang mau menerima barang ini."

3. Mengapa mereka baik pada orang lain, tapi tidak pada kami?
Tutur katanya baik, sopan, walaupun aksen tinggi ala betawinya cukup kental. Jadi sesopan apapun akan tetap bercita rasa kasar.

Kesopanan itu bisa ditunjukkan pada orang lain, apalagi orang berduit. Tapi tidak pada kami, mereka masam, raut muka mereka akan berubah bengis bila melihat kami.

***
Mungkin semua itu terjadi karena sikap kami kepada mereka yang acuh dan tak peduli.
Tapi semua itu dilakukan dengan alasan. Kami melakukan itu karena merekalah yang membuat ayah kami gila, merekalah yang membuat ayah kami tidak memiliki pendengaran yang baik, merekalah yang membuat trauma-trauma pada ayah kami dan keluarga kami.

Aku masih ingat ketika mereka datang membawa golok, balok, dan memaki ayah kami, memukul ayah kami, menghancurkan meja kaca rumah kami, dan membuat ibu kami menangis. Aku masih ingat ketika mereka selalu mempermasalahkan sikap ayah kami yang tidak normal, padahal mereka tahu dan sudah hidup dengan ayah kami lebih lama dari kami. Tapi mengapa mereka tidak mengerti juga dengan kondisi ayah kami?

***

Mereka seperti anjing yang tidak bisa diajar, kasar, semaunya, dan menjilat hanya pada tuan yang memberinya makan, buta pada saudara, dan mudah tersulut bila ada sang penghasut.

***
Kami memaafkan tapi tidak sepenuhnya memaafkan, maka acuh dan diam adalah emas untuk saat ini. Menjaga ayah kami adalah nomor 1. Bila sedikit saja ayah kami berdarah, maka mereka akan membayar segalanya dengan karma dan hidup mereka.

Kami masih muda, dan semoga saja kami masih punya waktu untuk melihat masa depan mereka yang sudah mulai dimakan umur. Kami sangat penasaran bagaimana akhirnya hidup mereka, akhirul hayat mereka, dan masa depan anak-anaknya. Keluarga yang dibangun tidak dengan rasa toleransi, melainkan kebencian dan kultur lingkungan yang tidak baik.

***

January 10, 2014

My Pity Dad

Photo ini dibuat ketika Hari Ayah 12 November 2013 lalu.
He's a person that always love me more than anything.
Semarah apa pun dia marah padaku, dia tetap sangat menyayangiku, begitupun aku.


***
Sebelum aku lahir, ibu bercerita bahwa ayahku baik-baik saja.
Sehat. Tidak seperti saat ini.

Hingga umurku 4 atau 5 tahun, seingatku ayahku masih baik-baik saja. Kami sekeluarga rekreasi ke Taman Ria setiap minggunya. Kami cukup bahagia. Ayah menggendongku di pundaknya--selalu. Kakak dituntun oleh ibu sambil membawa rantang makanan.
Kala itu aku dan kakakku cukup mengerti untuk tidak jajan dan cukup senang dengan memakan bekal makanan yang kami bawa dari rumah.

Hingga pada suatu hari, kegiatan rekreasi kami mulai jarang diagendakan. Ayahku jatuh sakit. Panasnya tak kunjung sembuh. Dia demam tinggi.
Saat aku tanya kenapa? Ibu hanya menjawab ayah sedang sakit. Aku tak tahu separah apa sakitnya.
Setelah beberapa lama, ayahku sembuh. Namun, sejak saat itu, seingatku, ayah jadi berubah.
Ia jadi pemarah, pemurung, pendendam, pembenci, suka bicara sendiri seakan ada yang mengajaknya berbicara.

Ia tak pernah keluar rumah. Memilih membantu ibuku di rumah menyiapkan perlengkapan dan membuat kue untuk berdagang. Dia bangun pagi-pagi sekali membantu ibu, menjaga aku ketika ibu berdagang, menjadi pengganti ibu ketika ibu tidak berada di rumah, tapi tetap tidak pernah keluar rumah. Pribadinya tertutup sekali.
Sekalinya keluar rumah, pasti ada saja ulah--kesalahpahaman-- yang dibuatnya. Entah bertengkar dengan saudara kandungnya sendiri atau bertengkar dengan orang lain.

Kadang penyebabnya sangat sepele. Misalnya saja, ketika dia tengah berjalan dan menghampiri seseorang, kebetulan orang tersebut meludah atau menggaruk hidung atau bahkan menggaruk pantatnya sendiri dan perilaku tersebut ayahku anggap sebagai penghinaan.

Ia marah bukan kepalang. Kadang marahnya diluapkan di rumah atau bila orang tersebut sedang sial, ayahku melabraknya dengan sumpah serapah yang tak habis-habisnya. Kampung seketika menjadi ramai dibuatnya.
Ayahku memang begitu, dan awalnya orang banyak terpacu untuk melawannya dengan kekerasan atau adu bacot dengannya, namun lama-kelamaan banyak yang maklum. Bagi yang --waras--tahu apa yang terjadi pada ayahku sebelumnya tentu dia maklum, dan bagi yang --sama-sama tidak waras--belum tahu,  habislah ayahku dimaki-maki habis-habisan atau bahkan orang tersebut naik pitam, lalu ayahku dipukulnya. Ayahku pedas dalam berkata-kata, tapi dia tak pernah memukul. Dia tak ingin--bukan penakut. Kadang saking kesalnya, habislah piring, gelas, atas kursi sebagai sasaran pelampiasannya. Namun, ia tak pernah main tangan, baik pada orang lain maupun pada keluarga kami.

Pernah suatu hari, ketika ayahku sedang ngawur dan bicara ngalor ngidul, ia membahas apapun yang terlintas di hati, pikiran, atau otaknya. Rumah kami terletak di ujung gang, paling ujung, di mana kendaraan  dan tidak ada yang lewat. Dia berbicara di latar rumah, tanpa peduli tetangga--yang notabene tetangga kami adalah rumah-rumah saudara kandungnya sendiri--- memperhatikan atau mendengarkan gelagatnya.

Kadang dia membahas hal yang sangat filosofis ala kadarnya, kebaikan seseorang, atau kejahatan seseorang, pernah juga ia membahas soal intrik atau akal bulus seseorang yang licik. Tentu saja, kengawuran isi pembicaraannya itu berdasarkan sugesti, pola pikir, nilai-nilai, setan-setan, dan jin-jin yang ada dalam dirinya.

Saudara-saudaranya pun mendengar dan meresapinya. Mungkin saat itu, saudaranya sedang kalap atau tak punya uang maka dengan mudahnya tersulut. Pikiran mereka susah dan sempit. Padahal mereka tahu, saudaranya ini memang sakit. Mereka pun mengadu domba yang lain bahwa ayahku membicarakan hal yang mereka tidak suka. Maka pertengkaran besar pun terjadi. Ayahku menjadi tertuduh: orang yang dipersalahkan atas kata-katanya. Padahal bila mereka mau mencerna, kata-kata yang keluar dari mulut ayahku hanya omongan dan pelampiasan orang gila yang sedang bermain dengan pikirannya sendiri. Tak perlu diresapi dengan serius. Mungkin perlu diluruskan dengan pendekatan tertentu. Pendekatan yang sangat halus.
Sayangnya, pendekatan yang dikenal oleh saudara-saudaranya adalah kekerasan, baik verbal maupun non-verbal.

Kala itu, ada yang membentak, ada yang melotot dan matanya hampir keluar, ada yang hendak memukul, ada yang membawa kayu batangan, ada yang membawa golok, ada yang merusak rumahku, para wanita dan anak-anak hanya bisa ketakutan dan ada yang menangis, ada yang melerai dan ada yang hampir mau pingsan.

Ayahku dikeroyok dalam artian sebenarnya akibat kata-katanya sendiri.

Aku saat itu: sangat aku tak berani keluar rumah, aku menangis.
Aku, kakak, dan ibuku melihat ayahku dibombardir dengan wajah-wajah beringas saudara-saudara kandung bahkan ayah kandungnya sendiri. Aku ketakutan dan menangis tersedu-sedu di dalam rumah.
Mereka menghantam tanpa bisa dilerai. Tetangga yang bukan saudara, tak ada yang berani memasuki gang rumah kami. Mereka menyebut gang rumah kami: gang kompor. Segala api, panas, amarah, kerap tumpah menghancurkan perabot rumah tangga, memekakan telinga akibat suara yang overtune.

*
Saat itu mereka sama-sama panas. Terbakar oleh kata-kata. Kata-kata yang seharusnya tak usah mereka dengarkan dan mempersulit kondisi saat itu.
Mereka semua berubah jadi orang gila yang tak beda dengan ayahku.

Bodoh.

Ya mereka memang bodoh karena tak sekolah. Mereka putus sekolah karena tak ada biaya. Sebagian dari mereka putus sekolah karena tak ada kemauan. Sebagian dari mereka termasuk ayahku putus sekolah karena tak ada kemampuan untuk bayar biaya sekolah. Belum lagi rasa malu yang harus ditanggung ketika wali kelas menyebutkan siapa-siapa saja siswa yang belum bayar sekolah atau bahkan menunggak beberapa bulan, kala itu, sekitar tahun 60-70-an. Begitu cerita ayahku mengenai kondisi sekolah dan guru zaman dulu yang selalu mengumumkan dengan suara keras-keras soal siapa saja murid yang belum bayar iuran sekolah.

Akhirnya, tanpa pendidikan, mereka terbentuk menjadi orang yang berpikiran sempit, berpenyakit hati, dan solusi atas segala permasalahan mereka adalah selalu kekerasan, baik  verbal maupun non-verbal.
Nasib ayahku sebenarnya jauh--sangat jauh-- lebih beruntung dari mereka: saudara-saudara kandung dan bahkan orang tua kandung ayahku. Namun, mereka dan permasalahan mereka yang membuat ayahku seperti sekarang ini: ia jadi pemarah, pemurung, pendendam, pembenci, suka bicara sendiri seakan ada yang mengajaknya berbicara.

My pity dad. What a pity!

August 29, 2013

Swap Story

Yesterday, we talked.
We promise to swap story about someone who has a negative aura. :)

May 03, 2013

A dream in May Day

Dear you,

Everybody gonna make some noise in the capital city of Indonesia, Jakarta. Yeah, May Day on 1st of May.

And I've just woke up on 7 a.m. I am smiling.
I dreamed about you. We make a good relationship and running into somewhere with our mates. I love it.
Because you by my side.

Yeah, it is impossible to make it real but  I am so happy. You give me some compliment and me too. We are good, we are understanding and wow!

But it is going so fast, G. I woke up, and have to work like usual.

Please, give me a clue. A clue that bring me into the right place.

now, I don't know where am I?

January 11, 2013

You Are The Only Exception



Dear You,

You are still my big panda that I hold, dear.
Yesterday, I did not come to my friend’s biggest day. His session day going so well, some of my friends declared that he got his first college degree. Congratulations.
One moment, I was wondering what we would be in the future.  We ever make a simple promise; we must to be a success person whatever we would be. We would never choose to be a coward one to move forward and get what we want, he said. But, it is only a small talk on that day.
Yes, he said he is a zero who’s evolving  to be a hero. Big proud!
On his day, I sent a tweet and give some spirit for him. At 3 PM, I sent a message to say the same thing. But, he’s not reply. Probably, he is too busy to reply one by one every text messages from other friend. Once again, congratulations my friend, have a good future with your new life. We know what we want. We never know when the time going so right for us at the end.  DG, good job!